Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 27 Mei 2011

Pulau Cangke, Sebuah Kisah & Cerita


Jumat tgl 20 mei 2011 pukul 08.00 am saya bersama teman anak Geografi Sains (geo’s) UNM memulai perjalan menuju lokasi tujuan Pulau Cangke, kegiatan kali ini adalah salah satu di antara sekian banyaknya praktek lapang yang hukumnya “wajib” untuk hadir, ini semua untuk menunjang mata kuliah Geologi & Geomorfologi. Namun diantara sekian banyaknya praktek lapang, praktek kali inilah yang paling berkesan bukan karena adanya benih-benih cinta yang tumbuh di antara anak-anak geo’s, bukan pula karena penulis yang hatinya lagi berseri-seri (love)  tapi melainkan karena praktek ini dilaksanakan di tempat yang berbeda lain dari praktek-praktek sebelumnya yang di mana lokasinya adalah pulau. Mendengar nama pulau saja kami sudah sangat senang apa lagi bila sampai menginjakkan kaki di pulau. Bukannya kami menyesal berada diantara sekian juta mahluk yang hidup di hiruk pikuk kota metropolitan makassar, tapi setidaknya kami bisa bebas sejenak dari apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita lihat hanyalah hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau mungkin malah keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga.
Jalan-jalan beraspal yang biasanya dibuat untuk memudahkan lalu lintas para turis. Paling buruk, sampah-sampah mulai menumpuk dan tingkat kerusakan semakin merajalela. Ironisnya, dimana manusia moderen berada dan menetap, di sana pula ada kerusakan, tapi “ya sudahlah” seperti kata Bondan. Nah, yang semakin mengesankan karena Praktek kali ini hanyalah bermodalkan niat & tekat bagaimana tidak angkatan kamilah yang pertama kali melaksanakan praktek di pulau tersebut artinya segalanya merupakan hal-hal baru mulai dari tempat lokasi, suhu, suasana, dll.  Pulau ini namanya saja masih asing di telinga kita, bahkan teman saya Reski Rahmat yang notabennya orang asli pangkep sama sekali tidak pernah mendengarnya apa lagi mengenal nama pulau tersebut. Dimana ide ini sebenarnya muncul setelah Bapak Pembimbing kita Suprapta.S.Si.M.Pd selaku Dosen melihat tayangan di salah satu stasiun TV nasional yang menyiarkan kisah sepasang suami istri hidup bertahun-tahun di pulau dengan fisik yang tidak sempurna, sang suami yang buta & sang istri yang pendengaranya kurang. Nah, disitulah yang membuat saya semakin penasaran dengan pulau tersebut. Setelah beberapa hari berlalu saya mencoba browsing untuk searching Pulau yang dimaksud tersebut, seperti biasanya tak bosan-bosannya ku bertanya pada om gogel dengan kata kunci “pulau berpenghuni dua sepasang suami istri”. Disitulah muncul nama pulau tersebut dan ternyata pulau itu bernama “PULAU CANGKE
PULAU CANGKE namanya. Untuk sampai ke sana, kita bisa menempuh perjalanan laut menggunakan perahu nelayan atau perahu yang khusus digunakan sebagai angkutan antar pulau. Perahu-perahu yang berukuran panjang sekitar 10 meter dan lebar 3 meter melalui pelabuhan ikan Paotere’, akan mengantar kita ke pulau itu. Lama perjalanan kurang lebih 2,5 jam dari pelabuhan Paotere’ dan dapat ditempuh sekitar 25 menit dari ibu kota Kabupaten Pangkep. Secara administratif, Cangke berada dalam teritori Kabupaten Pangkep pulau yang ada di gugusan Spermode.
Ukurannya hanya beberapa puluh meter, bahkan dapat dikelilingi dalam waktu 10 menit saja.
Di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan lepas. Pohon pinus tumbuh sempurna di atas pasir putih, menari indah terhembus semilir angin. ikan-ikan karang bermain-main di antara lautan luas. Bintang laut menerangi pesisir dengan diam. Sementara kami, menemani bulan dengan lantunan lagu-lagu kebebasan
PANORAMA. Pasir putih mutiara akan menjemput kita di bibir pantai dengan deburan ombak yang bergulung pelan memecah di tepian. Air laut yang bening memberi pemandangan luar biasa, ikan-ikan aneka warna saling berkejaran diantara karang dan rumput laut. Dari kejauhan sesekali kawanan lumba-lumba berakrobat melawan riak gelombang. Angin sepoi-sepoi mengelus lembut daun-daun cemara yang memenuhi daratan pulau memberi kesejukan tersendiri meski matahari masih terik. Kita dapat menikmati sunrise dan sunset di kedua sisinya. Semuanya begitu indah dan menakjubkan
CINTA DAN KESETIAAN. Sekitar tahun 1972, Daeng Abu yang ketika itu masih berusia 20 tahun diserang penyakit kusta. Pada masa itu, kusta dianggap sebagi kutukan. Tak ada yang mau menerima‘kutukan’ itu, juga keluarga mereka. Namun, seorang gadis bernama Sitti Maidahmenguji kesabaran dan kesetiaannya menemani sang suami tercinta. Hingga akhirnya Daeng Abu harus meninggalkan tanah kelahirannya di Kecamatan Bungoro, Pangkep, karena hidup tak berpihak ke mereka. Sitti Maidah ikut serta bersamanya berangkat ke tanah tak bertuan, Pulau Cangke. Mereka mengarungi hidup berdua saja di pulau kosong itu selama berpuluh tahun.
Hingga kini, sisa ‘kutukan’ itu masih membekas bersama kenangan masa lalu. Hari-hari terus disongsong dalam bingkai cinta dan kesetiaan meski Daeng Abu tak melihat lagi dan Sitti Maidah sulit memungsikan indra pendengarnya lagi.[]
Saat itu malam terakhir kami berada disini. Sebuah ekspedisi yang mulanya hanya untuk memenuhi tuntutan praktek ternyata membawa kami lebih jauh di dalamnya sebuah nilai-nilai kemanusian yang sudah susah kami temui di kota.
Saat Purnama makin terang. Menguning di antara hitam. Terjaga di atas cahaya-cahaya yang membintang dari pulau Pala. Di depan perapian, suara nyanyian kami menggema di antara malam. sibuk sendiri pula angin mengaum-ngaumkan menunjukkan kebesarannya di lautan. kopi hitam pekat terangkat bersama, kebersamaan yang seakan tidak ada akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© 2016 Blogger Template powered by Blogger.com | |